Budaya Manggarai
RAGAM BUDAYA
MANGGARAI
Pada umumnya gambaran masyarakat Manggarai bisa dilihat dari corak maupun ragam budayanya yang tercermin dalam berbagai sistem atau sub-sistem yang berlaku. Beragam sub-sistem yang hidup dalam masyarakat Manggarai yang dapat memperlihatkan bagaimana sesungguhnya corak kebudayaan di Manggarai. Sub-sistem yang hidup dalam masyarakat Manggarai yaitu sub-sistem religi, sub-sistem organisasi, sub-sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian atau ekonomi, sistem teknologi.
1. Religi
Secara umum, sistem religi asli orang Manggarai adalah monoteis implisit, dengan dasar religinya yakni menyembah Tuhan Maha Pencipta dan Maha Kuasa (mori jadi dedek – Ema pu’un kuasa), meski masih terdapat cara-cara dan tempat persembahan misalnya, compang (mesbah) juga terkadang di bawah pohon-pohon besar yang dipandang angker dan suci.
Compang (Mesbah)
Yang didirikan di tengah kampung karena menurut kepercayaan orang Manggarai di sana berdiamlah Sang Naga Beo (kekuatan pelindung) yang menjaga ketentraman warga kampung setiap waktu. Compang itu berbentuk bulat maksudnya atau mengandung makna kekerabatan, sehingga dalam upacara adat Manggarai sering diungkapkan kalimat sebagai berikut:
Muku ca pu’u toe woleng curup (kesatuan kata)
Ipung ca tiwu neka woleng wintuk (kesatuan tindakan)
Teu ca ambong neka woleng lako (kesatuan langkah)
Wujud nyata dari prinsip ini nampak dalam kegiatan leles, kokor tago, dan lain-lain. semuanya menekankan persaudaraan, kebersamaan, dan kekeluargaan.
Di dalam masyarakat Manggarai, khususnya berkaitan dengan religius tumbuh dan berkembangnya upacara-upacara adat yang berkaitan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi misalnya :
* Dalam acara penti, ucapan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi:
- Lawang morin agu ngaran
Artinya untuk minta pengukuhan dari Tuhan sebagai pemilik atau pemberi atas benih atau tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh manusia. sehingga dalam adat Manggarai, diadakannya pesta penti (syukuran) kepada Tuhan atas pemberiannya itu.
* Dalam upacara kematian, ucapan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi :
- Kamping morin agu ngaran
2. Sistem Organisasi Sosial atau Kemasyarakatan
1. Lembaga adat atau tua adat
* Gendang
A. Sejarah berdirinya gendang
Secara etimologis, gendang adalah alat musik tradisional Manggarai sejenis drum. Sedangkan secara esensial, gendang adalah lembaga kekuasaan dari suatu masyarakat hukum adat. Seperti masyarakat hukum adat Gendang Mano, Gendang Alang Mano, Gendang Lame, dan Gendang Bea Laing. Sehingga secara umum Gendang adalah nenek moyang dari masyarakat hukum adat tertentu beserta keturunannya yang berkuasa untuk memerintah seluruh masyarakat hukum adat tertentu dan berkuasa atas wilayahnya.
Dalam hal terbentuknya gendang, walaupun memiliki sejarah tersendiri tetapi melihat struktur lembaga hukum adat yang berlaku sampai sekarang di Kabupaten Daerah Tingkat II Manggarai, maka gendang dibentuk atau diadakan oleh Gelarang yang tugasnya untuk menyelesaikan sengketa tanah atau lingko yang timbul antara gendang dan menentukan serta membagikan lingko-lingko kepada setiap kampung atau gendang.
Cara lain yang membentuk atau mengadakan gendang adalah sebagai akibat memenangkan perang atau menguasai suatu wilayah kosong.
Gendang Mano yang dimaksud dalam penelitian ini dibentuk setelah menguasai suatu wilayah kosong yang telah ratusan tahun ditinggalkan. Wilayah kosong ini ditemukan oleh nenek moyang orang Mano yaitu suku Kuleng. Suku ini kemudian membentuk Gendang’n one lingko’n pe’ang yang berdiri sampai saat ini. Perlu juga diketahui bahwa nenek moyang pertama yang menguasai wilayah Mano adalah Empo Mbak. Empo Mbak ini adalah pelarian atau orang buangan dari suku Minangkabau sebagai akibat perebutan kekuasaan. Dalam legenda orang Manggarai, Empo Mbak ini adalah seorang keturunan raja Minangkabau.
Dalam perkembangannya, karena memiliki lingko yang luas dan banyak maka Gendang Mano memberikan (widang) suatu lingko kepada orang Alang sebagai tanda persaudaraan.
Kemudian terbentuklah gendang’n onen lingkon’n pe’ang, dari Gendang Alang Mano.
Demikian juga dengan Gendang Bea Laing yang disebut dengan Gendang Ase Ka’e (famili, sanak saudara), karena sebenarnya Bea Laing berasal dari suku Pau Ruteng. Atas kebaikan orang Mano mereka lalu diberikan untuk menghuni wilayah Bangka Pau di Mano kemudian pindah ke Mera Mano. Karena perkembangan akhirnya mereka pindah ke Bea Laing untuk menetap, dan melalui perkawinan maka terjadilah hubungan dengan masyarakat Gendang Mano, karena melalui suatu kebijaksanaan maka Gendang Mano memberikan lingko kepada suku Pau Ruteng.
Sedangkan terbentuknya Gendang Lame atau gendang widang (pembagian) adalah gendang pembagian kepada saudari perempuan atau kepada anak mantu.
Maka Gendang Mano membagi lingko untuk mendirikan Gendang Lame. Serta lembaga hukum adatnya yaitu Gendang’n onen lingko’n pe’ang.
Sehingga hubungan antara Gendang Mano dan ketiga Gendang tersebut sangat erat dan harmonis dan ketiga Gendang yang dibentuk tetap tunduk dan taat kepada Gendang Mano, seperti dalam hal sebagai berikut :
- Ketiga Gendang harus tunduk dan taat kepada perintah dari Gendang Mano dalam hubungan adat istiadat mengenai lingko.
- Apabila ketiga Gendang tersebut membagi moso atau lodok (membagi tanah per keluarga), Gendang Mano harus mendapatkan juga satu bagian sebagai Gendang induk.
- Masyarakat dari kegita Gendang harus hadir apabila dipanggil oleh Tu’a Gendang Mano sehubungan dengan pesta penti.
B. Fungsi, tugas dan struktur organisasi gendang
Pada dasarnya fungsi, tugas dan struktur organisasi gendang yang ada di Manggarai sama.
a. Fungsi organisasi gendang :
- Menegakkan sejarah garis keturunan.
- Mempertahankan kekuasaan gendang.
- Mempersatukan warga gendang.
- Menata kehidupan sosial warga gendang.
- Mempertahankan kepemilikan tanah dan mengatur pembagiannya.
- Membentuk pertahanan yang kuat dalam menghadapi musuh.
b. Tugas organisasi gendang :
- Menjaga dan memelihara kesinambungan keberadaan keturunan gendang.
- Menata ketertiban sosial bagi kehidupan warga gendang.
- Memasukkan kehidupan bersama warga gendang.
c. Struktur organisasi gendang
Sebagai tambahan, saya mulai saja dengan melihat kembali sejarah pemerintahan di Manggarai sejak zaman pemerintahan Goa, Bima dan pemerintahan jajahan Belanda. Sehingga struktur pemerintahan pada jaman itu adalah sebagai berikut :
Gambar 1
Struktur Organisasi Elit Tradisional
Di Kabupaten Manggarai
Membaca dan melihat struktur pemerintahan tersebut jelas terlihat bahwa Raja membentuk dan mengangkat Dalu yang kemudian dinamakan Haminte sampai dengan tahun 1968. Kemudian Dalu membentuk Gelarang yang fungsi dan tugasnya menentukan dan membagi-bagikan Lingko kepada setiap kampung atau gendang serta menyelesaikan sengketa tanah yang timbul antara gendang di setiap kampung atau desa. Keadaan ini berlaku hingga saat ini melalui hukum adat Manggarai, tetapi tidak mutlak untuk membentuk atau mengadakan gendang di setiap kampung.
Keadaan dewasa ini telah menunjukkan bahwa Raja, Dalu dan Gelarang tidak berperan lagi karena organisasinya telah bubar, yang tertinggal hanyalah apa yang dinamakan dengan gendang atau lembaga hukum adat yang disebut dengan gendang’n onen lingko’n pe’ang.
Mengenai struktur organisasi elit tradisional yang dalam penelitian ini adalah gendang, dapat dilihat pada gambar 2.
Deskripsi jabatan :
1. Tu’a gendang adalah sekelompok orang yang merupakan pendiri gendang dan keturunannya. Sehingga mereka menguasai Beo (kampung) secara keseluruhan yaitu gendang’n onen lingko’n pe’ang.
Keturunan pendiri gendang berhak untuk menjadi :
- Tu’a Golo
- Tu’a Teno
- Ata lami gendang (keluarga yang menempati rumah niang atau rumah gendang dan menjaga serta memelihara).
- Pelaksana ritus gendang yang menentukan penti (syukuran), oli (upacara musim tanam), wasa (mohon penyuburan), dan paki kaba (persembahan).
Gambar 2
Struktur Organisasi Elit Tradisional
Di Desa Mandosawu
2. Tu’a Golo
Adalah Tu’a yang menguasai golo (kampung)
Pa’ang’n olon, ngaung’n musi (segenap wilayah milik gendang yang bertugas memimpin rakyat gendang, mengontrol dan menertibkan pelaksanaan adat istiadat sebagai pedoman hidup seluruh warga gendang dan memberi sanksi bagi yang melanggar tata tertib gendang.
Yang mengangkat Tu’a Golo adalah Tu’a Gendang. Dia yang diangkat karena turunan pendiri gendang, mempunyai gesah sebagai pemimpin, taat kepada aturan adat istiadat dan tidak banyak cacat cela dalam hal moral.
Tugas Tu’a Golo adalah sebagai pemimpin rakyat gendang dalam hal urusan harian seperti ketertiban warga gendang, menjaga keamanan warga dan kebun warga. Dan persyaratan menjadi Tu’a Golo adalah orang yang bijaksana, mampu menyelesaikan masalah dalam wilayah gendang. Dalam musyawarah gendang, dia adalah pemimpin sidang, khusus di luar kekuasaan Tu’a Teno. Tetapi dia harus taat kepada kebijaksanaan Tu’a Gendang yang merupakan sesepuh-sesepuh agung gendang. Dan perlu diketahui bahwa kedudukan Tu’a Golo dan Tu’a Teno adalah sejajar.
3. Tu’a Teno adalah orang yang berasal dari Tu’a gendang dengan tugas menentukan pembagian tanah yang menjadi hak milik gendang, mengamankan pelaksanaan pembagian tanah dan melaksanakan ritus pembagian. Sedang yang menentukan kepemilikan tanah adalah Tu’a Gendang.
4. Tu’a Panga. Panga (bagian atau cabang) adalah sekelompok orang yang merupakan turunan Tu’a Gendang pada lapisan tertentu yang dipercayakan untuk mengurus diri berdasarkan kebijaksanaan Tu’a Gendang, Tu’a Golo dan Tu’a Teno.
Tu’a Panga adalah pemimpin atau kepala panga. Panga terdiri dari beberapa Ame atau keluarga yang berasal dari satu nenek dalam suku tertentu.
5. Tu’a Ame adalah keturunan Tu’a Gendang sesudah lapisan panga dan dipercayakan untuk mengurus diri. Ame terdiri dari beberapa kilo atau keluarga. Tu’a Ame adalah pemimpin keluarga.
6. Tu’a Kilo adalah yang mengetahui atau menguasai suatu keluarga. Tu’a Kilo adalah pemimpin keluarga yang biasanya disandang oleh bapak.
7. Tu’a Wa’u adalah yang mengepalai keturunan pendatang yang telah berkembang dalam gendang dan menerima pembagian tanah. Pada umumnya mereka memiliki hubungan dengan gendang karena faktor perkawinan. Walaupun mereka merupakan keturunan pendatang, namun tetap taat pada tata tertib dan peraturan gendang yang dihuni.
8. Tu’a Wae Tu’a yaitu yang mengetahui atau menguasai suku yang tertua dari gendang tersebut. Biasa disebut dengan wae ka’e atau keturunan tertua.
9. Tu’a Wae Koe yaitu yang mengetahui atau menguasai suku yang termuda dalam gendang. Biasa disebut dengan wae ase atau keturunan termuda.
C. Ruang Lingkup Wilayah Gendang
Wilayah kekuasaan gendang adalah suatu wilayah tertentu dari sebuah kampung atau desa yang terdiri dari beberapa lingko atau tanah dan setiap lingko mempunyai tanah sendiri. Wilayah kekuasaan ini nampak dalam sebutan gendang’n onen atau beon one, lingko’n pe’ang.
Gendang’n one yang dimaksud adalah segenap warga gendang sedangkan lingko’n pe’ang adalah wilayah yang merupakan tanah (lingko) milik gendang.
* Kekerabatan atau Keluarga Perkawinan
(Menyangkut Anak Wina – Anak Rona)
- Sistem perkawinan menurut adat Manggarai
Menurut adat Manggarai, ada tiga cara atau sistem perkawinan yaitu :
a. Cangkang
Perkawinan di luar suku atau perkawinan antar suku. Dalam bahasa adanya dikatakan laki pe’ang atau wai pe’ang (anak wanita yang kawin di luar suku). Orang yang laki pe’ang atau wai pe’ang membuka jalur hubungan baru dengan suku-suku lain. Dengan itu keluarga besar lebih lebar jangkauan hubungan woe nelu-nya. Dari praktek orang tua tempo dulu, orang yang laki pe’ang bukan sembarang orang. Biasanya dari kalangan keluarga yang mampu membayar belis atau paca. Karena paca itu sendiri bukan cuma soal uang atau hewan, tetapi terutama soal harga diri dan martabat dari kedua belah pihak, antara keluarga pria dan wanita.
b. Tungku
Perkawinan untuk mempertahankan hubungan woe nelu, hubungan anak rona dengan anak wina yang sudah terbentuk akibat perkawinan cangkang. Laki-laiki dan wanita yang kawin tungku disebut saja laki one dan wai leleng one.
Pemuda yang laki one dapat berarti pria yang kawin tungku, juga berarti perkawinan terjadi di dalam atau di sekitar kampung asalnya.
Demikian pula terhadap wanita yang wai leleng one. Berbicara tentang paca untuk orang yang laki one dan wai leleng one tergantung pada jenis tungku.
Menurut adat Manggarai ada beberapa jenis tungku :
- Tungku cu atau tungku dungka
Kawin antara anak laki-laki dari ibu kawin dengan anak perempuan dari saudara itu atau om.
- Tungku nereng nara
- Tungku anak de due
- Tungku canggot
- Tungku ulu atau tungku sa’i
- Tungku salang manga
- Tungku dondot
c. Cako
Perkawinan dalam suku sendiri. Biasanya anak laki-laki dari keturunan adik dan anak perempuan dari keturunan kakak. Disebut juga sebagai perkawinan cako cama tau. Perkawinan cako biasanya orang tua mulai mencobanya pada lapisan ketiga atau lapisan keempat dalam daftar silsilah keluarga. Mengapa dikatakan mencoba? Karena menurut adat Manggarai, tidak semua perkawinan cako direstui mori agu ngaran. Orang Manggarai percaya bahwa Tuhan-lah yang menentukan apakan perkawinan itu direstui atau tidak. Ada bukti bahwa perkawinan cako tidak direstui, bahwa kedua insan yang menikah itu mati pada usia muda sebelum memperoleh anak.
Perkawinan cako cama salang artinya perkawinan yang dilangsungkan dengan sesama anak wina. Dalam konteks ini belis tidak dituntut sesuai dengan kemampuan kita. Berlaku ungkapan tama beka salang agu beka weki.
* Arti anak wina dan anak rona
Dalam konteks sosial budaya Manggarai yang disebut anak rona berasal dari keturunan pria atau yang disebut ata one. Sedangkan anak wina berasal dari keturunan anak perempuan atau yang disebut ata pe’ang.
Anak wina – anak rona muncul karena hubungan perkawinan, di mana pihak pria disebut anak wina dan pihak perempuan disebut anak rona.
3. Ilmu Pengetahuan
Sejak dulu, orang Manggarai memiliki pengetahuan tentang alam sekitarnya, baik fauna maupun flora dengan seluruh ekosistemnya. Sistem dan pola hidup masyarakat Manggarai yang agraris mengharuskan mereka memiliki pengetahuan yang cukup tentang flora, tentang tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat bagi kehidupannya.
Begitupun pengetahuan tentang fauna dimiliki secara turun temurun karena orang Manggarai pada dasarnya senang beternak dan berburu.
4. Bahasa
Mengutip hasil penelitian Pastor P.J. Verheijen, SVD yang dilakukannya sebelum 1950 menyebutkan bahwa di Manggarai terdapat enam bahasa, yaitu bahasa Komodo di pulau Komodo, bahasa Werana di Manggarai Tenggara, bahasa Rembong di Rembong yang wilayahnya meluas ke Ngada Utara, bahasa Kempo di wilayah Kempo, bahasa Rajong di wilayah Rajong dan bahasa Manggarai Kuku yang termasuk atas lima kelompok dialeg, termasuk bahasa Manggarai Timur Jauh.
Pengelompokkan bahasa tersebut sekaligus mengisyaratkan secara umum kelompok budaya di Manggarai yang erat kaitannya dengan corak kesatuan genealogis, sebab kesatuan genealogis yang lebih besar di Manggarai adalah Wa’u (klen patrilineal) dan perkawinan pun patrilokal. Dalam kesatuan genealogis inilah bahasa terpelihara baik secara turun temurun.
5. Kesenian
Di Manggarai juga tumbuh dan berkembang berbagai jenis kesenian khas daerah ini seperti seni sastra, musik, tari, lukis, disain dan kriya. Dari berbagai jenis kesenian itu, ada dua jenis yang sudah mencapai tingkat sebuah peradaban dan sudah dikenal luas, yakni seni pertunjukan caci dan seni rupa (kriya), songke.
Caci sudah merupakan puncak kebudayaan Manggarai yang unik dan sarat makna: seni gerak (lomes), nilai etika (sopan santun), nilai estektika, muatan nilai persatuan, ekspresi suka cita, nilai sportifitas, serta penanaman percaya diri.
Beberapa macam kesenian di Manggarai :
- Seni Musik
* Alat-alat musi tradisional : sunding, gong, gendang, tambor, tinding.
- Seni Tenun
* Tenun Songke
Seni kriya songke sarat dengan nilai dan simbol. Warna dasar hitam pada songke melambangkan sebuah arti kebesaran dan keagungan orang Manggarai serta kepasrahan bahwa semua manusia akhirnya akan kembali pada Yang Maha Kuasa. Sedangkan aneka motif bunga pada kain songke mengandung banyak makna sesuai motif itu sendiri seperti motif wela kawong bermakna interdependensi antara manusia dengan alam sekitarnya.
Motif ranggong (laba-laba) bersimbol kejujuran dan kerja keras. Motif ju’i (garis-garis batas) pertanda keberakhiran segala sesuatu, yaitu segala sesuatu ada akhirnya, ada batasnya. Motif ntala (bintang) terkait dengan harapan yang sering dikumandangkan dalam tudak, doa porong langkas haeng ntala, supaya senantiasa tinggi sampai bintang.
Maksudnya, agar senantiasa sehat, umur panjang, dan memiliki ketinggian pengaruh lebih dari orang lain dalam hal membawa perubahan dalam hidup.
Motif wela runu (bunga runu), yang melambangkan sikap atau ethos bahwa orang Manggarai bagaikan bunga kecil tapi memberikan keindahan dan hidup di tengah-tengah kefanaan ini.
- Seni Sastra
Cerita-cerita rakyat.
- Seni Tari
* Ronda
Ronda adalah sebuah nyanyian yang dipakai sebagai nyanyian perarakan, misalnya menjemput tamu baru.
* Sae
Sebuah tarian adat Manggarai untuk memeriahkan sebuah pesta. Misalnya dalam upacara adat masyarakat yaitu upacara paki kaba dalam rangka congko lokap atau menempatkan kampung baru.
* Sanda
Sebuah nyanyian, yang dinyanyikan oleh banyak orang dalam bentuk lingkaran. Sanda sering dipakai dalam upacara menjelang pesta penti dan pesta adat lainnya.
* Danding
* Wera
6. Sistem Mata Pencaharian atau Ekonomi
Aktivitas perekonomian atau mata pencaharian sudah sangat lama dikenal dalam masyarakat Manggarai. Bahkan sepanjang usia peradaban yang dimilikinya, seusia itu pula pengenalan masyarakat setempat terhadap kegiatan mencari nafkah, berdagang atau bermata pencaharian.
Dalam bidang pertanian, sudah sangat lama dikenal pola perkebunan yang disebut oleh masyarakat setempat dengan lingko (kebun komunal atau sistem pembagian tanah pertanian yang disebut lodok).
Sama seperti halnya sub-sistem sosial yang lain, sub-sistem ekonomi dan mata pencaharian orang Manggarai senantiasa melekat dengan nuansa-nuansa religi. Pesta kebun adalah acara syukuran kepada mori jari dedek dan arwah nenek moyang atas hasil padi dan jagung yang diperoleh. Begitu pula upacara penanaman benih atau upacara silih yang dilakukan agar kebun atau ladang terhindarkan dari berbagai hama penyakit yang mengganggu tanaman.
Seperti diketahui, masyarakat Manggarai pada umumnya adalah masyarakat agraris. Secara turun temurun dua jenis tanaman andalan masyarakat adalah padi dan jagung. Bahwa kemudian kopi mendapat tempat sebagai komoditas yang akrab dengan orang Manggarai.
Sejak tahun 1938, pembukaan sawah dengan sistem irigasi sudah dikenal di Manggarai. Semula sistem irigasi persawahan ini kurang diminati masyarakat karena terasa asing. Tapi, setelah melihat hasil pekerjaan orang yang mengerjakan jauh lebih baik dan menjanjikan, maka sistem irigasi pun secara berangsur-angsur mulai ditiru dan kemudian malah menjadi kegiatan primadona.
Di samping mengerjakan sawah, berladang dan menanam kopi orang Manggarai juga terkenal handal dalam beternak kerbau, sapi, kuda, babi, anjing, ayam, serta melaut.
7. Teknologi
Masyarakat Manggarai di masa lalu sudah mengenal bahkan mampu menghasilkan peralatan atau perkakas yang dibutuhkan untuk kehidupannya.
Secara tradisional, mereka sudah dapat membangun rumah.
Dalam hal pembuatan rumah, misalnya di Manggarai dikenal lima tahapan yang sekaligus menggambarkan konstruksi segi lima. Konstruksi segi lima ini berkaitan dengan latar belakang filosofis dan sosiologis. Angka ini memang dipandang sebagai angka keramat karena secara kausalistis dihubungkan dengan rempa lima (lima jari kaki), mosa lima (lima jari dalam ukuran pembagian kebun komunal), sanda lima, wase lima, lampek lima.
Untuk pakaian, orang Manggarai sebelum mereka mengenal tenun ikat, bahan pakaiannya terbuat dari kulit kayu cale (sejenis sukun).
Sementara untuk perhiasan sebelum mereka mengenal logam, perhiasan mereka umumnya terbuat dari tempurung kelapa, kayu atau akar bahar.
Begitupun teknologi pembuatan minuman tradisional juga sudah dikenal cama di masyarakat Manggarai, yakni proses pembuatan atau mencampur air enau dengan kulit damer sehingga menghasilkan alkohol berkadar tinggi seperti arak atau tuak.
Masyarakat Manggarai sejak dulu juga sudah mengenal cara pembuatan obat-obatan yang berasal dari daun-daunan, misalnya londek jembu yaitu pucuk daun jambu untuk mengobati sakit perut, kayu sita, untuk pengombatan disentri.
Sebelum mengenal logam, untuk alat-alat pertanian, masyarakat Manggarai sudah mengenal perkakas dari bambu, kayu atau tanah liat untuk mengolah tanah pertanian. Sementara alat perburuan yang dikenal yakni bambu runcing, lidi enau, tali ijuk.
Pada umumnya gambaran masyarakat Manggarai bisa dilihat dari corak maupun ragam budayanya yang tercermin dalam berbagai sistem atau sub-sistem yang berlaku. Beragam sub-sistem yang hidup dalam masyarakat Manggarai yang dapat memperlihatkan bagaimana sesungguhnya corak kebudayaan di Manggarai. Sub-sistem yang hidup dalam masyarakat Manggarai yaitu sub-sistem religi, sub-sistem organisasi, sub-sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian atau ekonomi, sistem teknologi.
1. Religi
Secara umum, sistem religi asli orang Manggarai adalah monoteis implisit, dengan dasar religinya yakni menyembah Tuhan Maha Pencipta dan Maha Kuasa (mori jadi dedek – Ema pu’un kuasa), meski masih terdapat cara-cara dan tempat persembahan misalnya, compang (mesbah) juga terkadang di bawah pohon-pohon besar yang dipandang angker dan suci.
Compang (Mesbah)
Yang didirikan di tengah kampung karena menurut kepercayaan orang Manggarai di sana berdiamlah Sang Naga Beo (kekuatan pelindung) yang menjaga ketentraman warga kampung setiap waktu. Compang itu berbentuk bulat maksudnya atau mengandung makna kekerabatan, sehingga dalam upacara adat Manggarai sering diungkapkan kalimat sebagai berikut:
Muku ca pu’u toe woleng curup (kesatuan kata)
Ipung ca tiwu neka woleng wintuk (kesatuan tindakan)
Teu ca ambong neka woleng lako (kesatuan langkah)
Wujud nyata dari prinsip ini nampak dalam kegiatan leles, kokor tago, dan lain-lain. semuanya menekankan persaudaraan, kebersamaan, dan kekeluargaan.
Di dalam masyarakat Manggarai, khususnya berkaitan dengan religius tumbuh dan berkembangnya upacara-upacara adat yang berkaitan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi misalnya :
* Dalam acara penti, ucapan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi:
- Lawang morin agu ngaran
Artinya untuk minta pengukuhan dari Tuhan sebagai pemilik atau pemberi atas benih atau tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh manusia. sehingga dalam adat Manggarai, diadakannya pesta penti (syukuran) kepada Tuhan atas pemberiannya itu.
* Dalam upacara kematian, ucapan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi :
- Kamping morin agu ngaran
2. Sistem Organisasi Sosial atau Kemasyarakatan
1. Lembaga adat atau tua adat
* Gendang
A. Sejarah berdirinya gendang
Secara etimologis, gendang adalah alat musik tradisional Manggarai sejenis drum. Sedangkan secara esensial, gendang adalah lembaga kekuasaan dari suatu masyarakat hukum adat. Seperti masyarakat hukum adat Gendang Mano, Gendang Alang Mano, Gendang Lame, dan Gendang Bea Laing. Sehingga secara umum Gendang adalah nenek moyang dari masyarakat hukum adat tertentu beserta keturunannya yang berkuasa untuk memerintah seluruh masyarakat hukum adat tertentu dan berkuasa atas wilayahnya.
Dalam hal terbentuknya gendang, walaupun memiliki sejarah tersendiri tetapi melihat struktur lembaga hukum adat yang berlaku sampai sekarang di Kabupaten Daerah Tingkat II Manggarai, maka gendang dibentuk atau diadakan oleh Gelarang yang tugasnya untuk menyelesaikan sengketa tanah atau lingko yang timbul antara gendang dan menentukan serta membagikan lingko-lingko kepada setiap kampung atau gendang.
Cara lain yang membentuk atau mengadakan gendang adalah sebagai akibat memenangkan perang atau menguasai suatu wilayah kosong.
Gendang Mano yang dimaksud dalam penelitian ini dibentuk setelah menguasai suatu wilayah kosong yang telah ratusan tahun ditinggalkan. Wilayah kosong ini ditemukan oleh nenek moyang orang Mano yaitu suku Kuleng. Suku ini kemudian membentuk Gendang’n one lingko’n pe’ang yang berdiri sampai saat ini. Perlu juga diketahui bahwa nenek moyang pertama yang menguasai wilayah Mano adalah Empo Mbak. Empo Mbak ini adalah pelarian atau orang buangan dari suku Minangkabau sebagai akibat perebutan kekuasaan. Dalam legenda orang Manggarai, Empo Mbak ini adalah seorang keturunan raja Minangkabau.
Dalam perkembangannya, karena memiliki lingko yang luas dan banyak maka Gendang Mano memberikan (widang) suatu lingko kepada orang Alang sebagai tanda persaudaraan.
Kemudian terbentuklah gendang’n onen lingkon’n pe’ang, dari Gendang Alang Mano.
Demikian juga dengan Gendang Bea Laing yang disebut dengan Gendang Ase Ka’e (famili, sanak saudara), karena sebenarnya Bea Laing berasal dari suku Pau Ruteng. Atas kebaikan orang Mano mereka lalu diberikan untuk menghuni wilayah Bangka Pau di Mano kemudian pindah ke Mera Mano. Karena perkembangan akhirnya mereka pindah ke Bea Laing untuk menetap, dan melalui perkawinan maka terjadilah hubungan dengan masyarakat Gendang Mano, karena melalui suatu kebijaksanaan maka Gendang Mano memberikan lingko kepada suku Pau Ruteng.
Sedangkan terbentuknya Gendang Lame atau gendang widang (pembagian) adalah gendang pembagian kepada saudari perempuan atau kepada anak mantu.
Maka Gendang Mano membagi lingko untuk mendirikan Gendang Lame. Serta lembaga hukum adatnya yaitu Gendang’n onen lingko’n pe’ang.
Sehingga hubungan antara Gendang Mano dan ketiga Gendang tersebut sangat erat dan harmonis dan ketiga Gendang yang dibentuk tetap tunduk dan taat kepada Gendang Mano, seperti dalam hal sebagai berikut :
- Ketiga Gendang harus tunduk dan taat kepada perintah dari Gendang Mano dalam hubungan adat istiadat mengenai lingko.
- Apabila ketiga Gendang tersebut membagi moso atau lodok (membagi tanah per keluarga), Gendang Mano harus mendapatkan juga satu bagian sebagai Gendang induk.
- Masyarakat dari kegita Gendang harus hadir apabila dipanggil oleh Tu’a Gendang Mano sehubungan dengan pesta penti.
B. Fungsi, tugas dan struktur organisasi gendang
Pada dasarnya fungsi, tugas dan struktur organisasi gendang yang ada di Manggarai sama.
a. Fungsi organisasi gendang :
- Menegakkan sejarah garis keturunan.
- Mempertahankan kekuasaan gendang.
- Mempersatukan warga gendang.
- Menata kehidupan sosial warga gendang.
- Mempertahankan kepemilikan tanah dan mengatur pembagiannya.
- Membentuk pertahanan yang kuat dalam menghadapi musuh.
b. Tugas organisasi gendang :
- Menjaga dan memelihara kesinambungan keberadaan keturunan gendang.
- Menata ketertiban sosial bagi kehidupan warga gendang.
- Memasukkan kehidupan bersama warga gendang.
c. Struktur organisasi gendang
Sebagai tambahan, saya mulai saja dengan melihat kembali sejarah pemerintahan di Manggarai sejak zaman pemerintahan Goa, Bima dan pemerintahan jajahan Belanda. Sehingga struktur pemerintahan pada jaman itu adalah sebagai berikut :
Gambar 1
Struktur Organisasi Elit Tradisional
Di Kabupaten Manggarai
Membaca dan melihat struktur pemerintahan tersebut jelas terlihat bahwa Raja membentuk dan mengangkat Dalu yang kemudian dinamakan Haminte sampai dengan tahun 1968. Kemudian Dalu membentuk Gelarang yang fungsi dan tugasnya menentukan dan membagi-bagikan Lingko kepada setiap kampung atau gendang serta menyelesaikan sengketa tanah yang timbul antara gendang di setiap kampung atau desa. Keadaan ini berlaku hingga saat ini melalui hukum adat Manggarai, tetapi tidak mutlak untuk membentuk atau mengadakan gendang di setiap kampung.
Keadaan dewasa ini telah menunjukkan bahwa Raja, Dalu dan Gelarang tidak berperan lagi karena organisasinya telah bubar, yang tertinggal hanyalah apa yang dinamakan dengan gendang atau lembaga hukum adat yang disebut dengan gendang’n onen lingko’n pe’ang.
Mengenai struktur organisasi elit tradisional yang dalam penelitian ini adalah gendang, dapat dilihat pada gambar 2.
Deskripsi jabatan :
1. Tu’a gendang adalah sekelompok orang yang merupakan pendiri gendang dan keturunannya. Sehingga mereka menguasai Beo (kampung) secara keseluruhan yaitu gendang’n onen lingko’n pe’ang.
Keturunan pendiri gendang berhak untuk menjadi :
- Tu’a Golo
- Tu’a Teno
- Ata lami gendang (keluarga yang menempati rumah niang atau rumah gendang dan menjaga serta memelihara).
- Pelaksana ritus gendang yang menentukan penti (syukuran), oli (upacara musim tanam), wasa (mohon penyuburan), dan paki kaba (persembahan).
Gambar 2
Struktur Organisasi Elit Tradisional
Di Desa Mandosawu
2. Tu’a Golo
Adalah Tu’a yang menguasai golo (kampung)
Pa’ang’n olon, ngaung’n musi (segenap wilayah milik gendang yang bertugas memimpin rakyat gendang, mengontrol dan menertibkan pelaksanaan adat istiadat sebagai pedoman hidup seluruh warga gendang dan memberi sanksi bagi yang melanggar tata tertib gendang.
Yang mengangkat Tu’a Golo adalah Tu’a Gendang. Dia yang diangkat karena turunan pendiri gendang, mempunyai gesah sebagai pemimpin, taat kepada aturan adat istiadat dan tidak banyak cacat cela dalam hal moral.
Tugas Tu’a Golo adalah sebagai pemimpin rakyat gendang dalam hal urusan harian seperti ketertiban warga gendang, menjaga keamanan warga dan kebun warga. Dan persyaratan menjadi Tu’a Golo adalah orang yang bijaksana, mampu menyelesaikan masalah dalam wilayah gendang. Dalam musyawarah gendang, dia adalah pemimpin sidang, khusus di luar kekuasaan Tu’a Teno. Tetapi dia harus taat kepada kebijaksanaan Tu’a Gendang yang merupakan sesepuh-sesepuh agung gendang. Dan perlu diketahui bahwa kedudukan Tu’a Golo dan Tu’a Teno adalah sejajar.
3. Tu’a Teno adalah orang yang berasal dari Tu’a gendang dengan tugas menentukan pembagian tanah yang menjadi hak milik gendang, mengamankan pelaksanaan pembagian tanah dan melaksanakan ritus pembagian. Sedang yang menentukan kepemilikan tanah adalah Tu’a Gendang.
4. Tu’a Panga. Panga (bagian atau cabang) adalah sekelompok orang yang merupakan turunan Tu’a Gendang pada lapisan tertentu yang dipercayakan untuk mengurus diri berdasarkan kebijaksanaan Tu’a Gendang, Tu’a Golo dan Tu’a Teno.
Tu’a Panga adalah pemimpin atau kepala panga. Panga terdiri dari beberapa Ame atau keluarga yang berasal dari satu nenek dalam suku tertentu.
5. Tu’a Ame adalah keturunan Tu’a Gendang sesudah lapisan panga dan dipercayakan untuk mengurus diri. Ame terdiri dari beberapa kilo atau keluarga. Tu’a Ame adalah pemimpin keluarga.
6. Tu’a Kilo adalah yang mengetahui atau menguasai suatu keluarga. Tu’a Kilo adalah pemimpin keluarga yang biasanya disandang oleh bapak.
7. Tu’a Wa’u adalah yang mengepalai keturunan pendatang yang telah berkembang dalam gendang dan menerima pembagian tanah. Pada umumnya mereka memiliki hubungan dengan gendang karena faktor perkawinan. Walaupun mereka merupakan keturunan pendatang, namun tetap taat pada tata tertib dan peraturan gendang yang dihuni.
8. Tu’a Wae Tu’a yaitu yang mengetahui atau menguasai suku yang tertua dari gendang tersebut. Biasa disebut dengan wae ka’e atau keturunan tertua.
9. Tu’a Wae Koe yaitu yang mengetahui atau menguasai suku yang termuda dalam gendang. Biasa disebut dengan wae ase atau keturunan termuda.
C. Ruang Lingkup Wilayah Gendang
Wilayah kekuasaan gendang adalah suatu wilayah tertentu dari sebuah kampung atau desa yang terdiri dari beberapa lingko atau tanah dan setiap lingko mempunyai tanah sendiri. Wilayah kekuasaan ini nampak dalam sebutan gendang’n onen atau beon one, lingko’n pe’ang.
Gendang’n one yang dimaksud adalah segenap warga gendang sedangkan lingko’n pe’ang adalah wilayah yang merupakan tanah (lingko) milik gendang.
* Kekerabatan atau Keluarga Perkawinan
(Menyangkut Anak Wina – Anak Rona)
- Sistem perkawinan menurut adat Manggarai
Menurut adat Manggarai, ada tiga cara atau sistem perkawinan yaitu :
a. Cangkang
Perkawinan di luar suku atau perkawinan antar suku. Dalam bahasa adanya dikatakan laki pe’ang atau wai pe’ang (anak wanita yang kawin di luar suku). Orang yang laki pe’ang atau wai pe’ang membuka jalur hubungan baru dengan suku-suku lain. Dengan itu keluarga besar lebih lebar jangkauan hubungan woe nelu-nya. Dari praktek orang tua tempo dulu, orang yang laki pe’ang bukan sembarang orang. Biasanya dari kalangan keluarga yang mampu membayar belis atau paca. Karena paca itu sendiri bukan cuma soal uang atau hewan, tetapi terutama soal harga diri dan martabat dari kedua belah pihak, antara keluarga pria dan wanita.
b. Tungku
Perkawinan untuk mempertahankan hubungan woe nelu, hubungan anak rona dengan anak wina yang sudah terbentuk akibat perkawinan cangkang. Laki-laiki dan wanita yang kawin tungku disebut saja laki one dan wai leleng one.
Pemuda yang laki one dapat berarti pria yang kawin tungku, juga berarti perkawinan terjadi di dalam atau di sekitar kampung asalnya.
Demikian pula terhadap wanita yang wai leleng one. Berbicara tentang paca untuk orang yang laki one dan wai leleng one tergantung pada jenis tungku.
Menurut adat Manggarai ada beberapa jenis tungku :
- Tungku cu atau tungku dungka
Kawin antara anak laki-laki dari ibu kawin dengan anak perempuan dari saudara itu atau om.
- Tungku nereng nara
- Tungku anak de due
- Tungku canggot
- Tungku ulu atau tungku sa’i
- Tungku salang manga
- Tungku dondot
c. Cako
Perkawinan dalam suku sendiri. Biasanya anak laki-laki dari keturunan adik dan anak perempuan dari keturunan kakak. Disebut juga sebagai perkawinan cako cama tau. Perkawinan cako biasanya orang tua mulai mencobanya pada lapisan ketiga atau lapisan keempat dalam daftar silsilah keluarga. Mengapa dikatakan mencoba? Karena menurut adat Manggarai, tidak semua perkawinan cako direstui mori agu ngaran. Orang Manggarai percaya bahwa Tuhan-lah yang menentukan apakan perkawinan itu direstui atau tidak. Ada bukti bahwa perkawinan cako tidak direstui, bahwa kedua insan yang menikah itu mati pada usia muda sebelum memperoleh anak.
Perkawinan cako cama salang artinya perkawinan yang dilangsungkan dengan sesama anak wina. Dalam konteks ini belis tidak dituntut sesuai dengan kemampuan kita. Berlaku ungkapan tama beka salang agu beka weki.
* Arti anak wina dan anak rona
Dalam konteks sosial budaya Manggarai yang disebut anak rona berasal dari keturunan pria atau yang disebut ata one. Sedangkan anak wina berasal dari keturunan anak perempuan atau yang disebut ata pe’ang.
Anak wina – anak rona muncul karena hubungan perkawinan, di mana pihak pria disebut anak wina dan pihak perempuan disebut anak rona.
3. Ilmu Pengetahuan
Sejak dulu, orang Manggarai memiliki pengetahuan tentang alam sekitarnya, baik fauna maupun flora dengan seluruh ekosistemnya. Sistem dan pola hidup masyarakat Manggarai yang agraris mengharuskan mereka memiliki pengetahuan yang cukup tentang flora, tentang tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat bagi kehidupannya.
Begitupun pengetahuan tentang fauna dimiliki secara turun temurun karena orang Manggarai pada dasarnya senang beternak dan berburu.
4. Bahasa
Mengutip hasil penelitian Pastor P.J. Verheijen, SVD yang dilakukannya sebelum 1950 menyebutkan bahwa di Manggarai terdapat enam bahasa, yaitu bahasa Komodo di pulau Komodo, bahasa Werana di Manggarai Tenggara, bahasa Rembong di Rembong yang wilayahnya meluas ke Ngada Utara, bahasa Kempo di wilayah Kempo, bahasa Rajong di wilayah Rajong dan bahasa Manggarai Kuku yang termasuk atas lima kelompok dialeg, termasuk bahasa Manggarai Timur Jauh.
Pengelompokkan bahasa tersebut sekaligus mengisyaratkan secara umum kelompok budaya di Manggarai yang erat kaitannya dengan corak kesatuan genealogis, sebab kesatuan genealogis yang lebih besar di Manggarai adalah Wa’u (klen patrilineal) dan perkawinan pun patrilokal. Dalam kesatuan genealogis inilah bahasa terpelihara baik secara turun temurun.
5. Kesenian
Di Manggarai juga tumbuh dan berkembang berbagai jenis kesenian khas daerah ini seperti seni sastra, musik, tari, lukis, disain dan kriya. Dari berbagai jenis kesenian itu, ada dua jenis yang sudah mencapai tingkat sebuah peradaban dan sudah dikenal luas, yakni seni pertunjukan caci dan seni rupa (kriya), songke.
Caci sudah merupakan puncak kebudayaan Manggarai yang unik dan sarat makna: seni gerak (lomes), nilai etika (sopan santun), nilai estektika, muatan nilai persatuan, ekspresi suka cita, nilai sportifitas, serta penanaman percaya diri.
Beberapa macam kesenian di Manggarai :
- Seni Musik
* Alat-alat musi tradisional : sunding, gong, gendang, tambor, tinding.
- Seni Tenun
* Tenun Songke
Seni kriya songke sarat dengan nilai dan simbol. Warna dasar hitam pada songke melambangkan sebuah arti kebesaran dan keagungan orang Manggarai serta kepasrahan bahwa semua manusia akhirnya akan kembali pada Yang Maha Kuasa. Sedangkan aneka motif bunga pada kain songke mengandung banyak makna sesuai motif itu sendiri seperti motif wela kawong bermakna interdependensi antara manusia dengan alam sekitarnya.
Motif ranggong (laba-laba) bersimbol kejujuran dan kerja keras. Motif ju’i (garis-garis batas) pertanda keberakhiran segala sesuatu, yaitu segala sesuatu ada akhirnya, ada batasnya. Motif ntala (bintang) terkait dengan harapan yang sering dikumandangkan dalam tudak, doa porong langkas haeng ntala, supaya senantiasa tinggi sampai bintang.
Maksudnya, agar senantiasa sehat, umur panjang, dan memiliki ketinggian pengaruh lebih dari orang lain dalam hal membawa perubahan dalam hidup.
Motif wela runu (bunga runu), yang melambangkan sikap atau ethos bahwa orang Manggarai bagaikan bunga kecil tapi memberikan keindahan dan hidup di tengah-tengah kefanaan ini.
- Seni Sastra
Cerita-cerita rakyat.
- Seni Tari
* Ronda
Ronda adalah sebuah nyanyian yang dipakai sebagai nyanyian perarakan, misalnya menjemput tamu baru.
* Sae
Sebuah tarian adat Manggarai untuk memeriahkan sebuah pesta. Misalnya dalam upacara adat masyarakat yaitu upacara paki kaba dalam rangka congko lokap atau menempatkan kampung baru.
* Sanda
Sebuah nyanyian, yang dinyanyikan oleh banyak orang dalam bentuk lingkaran. Sanda sering dipakai dalam upacara menjelang pesta penti dan pesta adat lainnya.
* Danding
* Wera
6. Sistem Mata Pencaharian atau Ekonomi
Aktivitas perekonomian atau mata pencaharian sudah sangat lama dikenal dalam masyarakat Manggarai. Bahkan sepanjang usia peradaban yang dimilikinya, seusia itu pula pengenalan masyarakat setempat terhadap kegiatan mencari nafkah, berdagang atau bermata pencaharian.
Dalam bidang pertanian, sudah sangat lama dikenal pola perkebunan yang disebut oleh masyarakat setempat dengan lingko (kebun komunal atau sistem pembagian tanah pertanian yang disebut lodok).
Sama seperti halnya sub-sistem sosial yang lain, sub-sistem ekonomi dan mata pencaharian orang Manggarai senantiasa melekat dengan nuansa-nuansa religi. Pesta kebun adalah acara syukuran kepada mori jari dedek dan arwah nenek moyang atas hasil padi dan jagung yang diperoleh. Begitu pula upacara penanaman benih atau upacara silih yang dilakukan agar kebun atau ladang terhindarkan dari berbagai hama penyakit yang mengganggu tanaman.
Seperti diketahui, masyarakat Manggarai pada umumnya adalah masyarakat agraris. Secara turun temurun dua jenis tanaman andalan masyarakat adalah padi dan jagung. Bahwa kemudian kopi mendapat tempat sebagai komoditas yang akrab dengan orang Manggarai.
Sejak tahun 1938, pembukaan sawah dengan sistem irigasi sudah dikenal di Manggarai. Semula sistem irigasi persawahan ini kurang diminati masyarakat karena terasa asing. Tapi, setelah melihat hasil pekerjaan orang yang mengerjakan jauh lebih baik dan menjanjikan, maka sistem irigasi pun secara berangsur-angsur mulai ditiru dan kemudian malah menjadi kegiatan primadona.
Di samping mengerjakan sawah, berladang dan menanam kopi orang Manggarai juga terkenal handal dalam beternak kerbau, sapi, kuda, babi, anjing, ayam, serta melaut.
7. Teknologi
Masyarakat Manggarai di masa lalu sudah mengenal bahkan mampu menghasilkan peralatan atau perkakas yang dibutuhkan untuk kehidupannya.
Secara tradisional, mereka sudah dapat membangun rumah.
Dalam hal pembuatan rumah, misalnya di Manggarai dikenal lima tahapan yang sekaligus menggambarkan konstruksi segi lima. Konstruksi segi lima ini berkaitan dengan latar belakang filosofis dan sosiologis. Angka ini memang dipandang sebagai angka keramat karena secara kausalistis dihubungkan dengan rempa lima (lima jari kaki), mosa lima (lima jari dalam ukuran pembagian kebun komunal), sanda lima, wase lima, lampek lima.
Untuk pakaian, orang Manggarai sebelum mereka mengenal tenun ikat, bahan pakaiannya terbuat dari kulit kayu cale (sejenis sukun).
Sementara untuk perhiasan sebelum mereka mengenal logam, perhiasan mereka umumnya terbuat dari tempurung kelapa, kayu atau akar bahar.
Begitupun teknologi pembuatan minuman tradisional juga sudah dikenal cama di masyarakat Manggarai, yakni proses pembuatan atau mencampur air enau dengan kulit damer sehingga menghasilkan alkohol berkadar tinggi seperti arak atau tuak.
Masyarakat Manggarai sejak dulu juga sudah mengenal cara pembuatan obat-obatan yang berasal dari daun-daunan, misalnya londek jembu yaitu pucuk daun jambu untuk mengobati sakit perut, kayu sita, untuk pengombatan disentri.
Sebelum mengenal logam, untuk alat-alat pertanian, masyarakat Manggarai sudah mengenal perkakas dari bambu, kayu atau tanah liat untuk mengolah tanah pertanian. Sementara alat perburuan yang dikenal yakni bambu runcing, lidi enau, tali ijuk.
Sejarah Suku Manggarai ~ Suku bangsa Manggarai
mendiami Kabupaten Manggarai yang terletak di Pulau Flores,
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jumlah populasinya sekitar 350.000 jiwa. Bahasa Manggarai
nampaknya terdiri atas beberapa dialek, seperti dialek Pae, Mabai, Rejong,
Mbaen, Pota, Manggarai Tengah, Manggarai Timur, dan
Manggarai Barat. Empat dialek terdepan mungkin merupakan bahasa
dari kelompok suku bangsa tersendiri yang tunduk kepada orang Manggarai di
zaman dulu.
Pada zaman dulu di Manggarai terdapat sebuah kerajaan. Pada masa sekarang sisa-sisanya masih kelihatan berupa pembagian wilayah tradisional ke dalam wilayah adat yang disebut dalu. Pada zaman dulu jumlah dalu ini sampai 39 buah. Tiap-tiap dalu dikuasai oleh satu klen atau wau tertentu. Dalam setiap dalu terdapat beberapa buah glarang dan di bawahnya lagi terdapat kampung-kampung yang disebut beo. Orang-orang dari wau yang dominan dan menguasai dalu menganggap diri mereka sebagai golongan bangsawan. Antara satu dalu dengan dalu lainnya sering mengadakan aliansi perkawinan dalam sistem yang mereka sebut perkawinan tungku (semacam perkawinan sepupu silang). Antara dalu dengan glarang sering pula terjadi perkawinan, karena sebuah glarang umumnya juga dikuasai oleh sebuah wau dominan.
Dalu sebagai bawahan kerajaan dipimpin oleh seorang kraeng, yang biasanya dipanggil Kraeng Adak. Kraeng yang dianggap berjasa berhak memperoleh gelar Sangaji dari raja. Sementara itu adanya wau yang dominan itu maka dalam masyarakat Manggarai terdapat pelapisan sosial yang cukup jelas. Pertama adalah golongan yang menganggap dirinya bangsawan, yang biasanya memakai gelar kraeng. Kedua adalah golongan rakyat biasa yang disebut ata lahe. Golongan ketiga adalah hamba sahaya atau mendi. Tentu saja pada zaman sekarang pelapisan sosial ini sudah semakin kabur. Baca juga Sejarah Suku Alor
Mata Pencaharian Suku Manggarai
Mata pencaharian sebagian besar suku Manggarai adalah
bercocok tanam di ladang dan di sawah. Pada umumnya mereka menanam padi,
jagung, ubi kayu dan sayur. Hewan ternak yang paling utama di daerah masyarakat
ini adalah kuda.
Kekeluargaan Suku Manggarai
Keluarga inti mereka sebut cak kilo. Keluarga-keluarga inti ini bergabung
dalam keluarga batih patrilineal (keluarga luas terbatas) yang disebut kilo.
Beberapa kilo yang berasal dari satu kakek moyang yang sama tergabung menjadi
klan yang disebut panga. Pada masa sekarang nampaknya panga-panga itu lebih banyak
berfungsi sebagai sumber nama kekerabatan. Pada masa dulu panga-panga itu masih
merupakan bagian dari klan yang lebih besar (wau).
Agama Dan Kepercayaan Suku Manggarai
Pada masa sekarang orang Manggarai sudah memeluk agama-agama
besar. Wilayah Kedaluan bagian timur kebanyakan memeluk agama Katolik, Kedaluan
sebelah utara, barat, dan selatan umumnya beragama Islam, dan sebagian kecil
beragama Protestan. Sementara itun sisa-sisa kepercayaan lama masih terlihat di
beberapa tempat. Pada zaman dulu masyarakat ini memuja roh nenek moyang (empo
atau andung) dan amat hati-hati terhadap gangguan makhluk halus yang disebut
golo, ata pelesina, naga, dan lain-lain. Mereka juga memiliki dewa tertinggi
yang disebut Mori Karaeng.
Referensi : Depdikbud 1977/1978, Lebar 1964
Sejarah dan kebudayaan Suku Flores – Nusa Tenggara
Timur (NTT). Kata
Flores berasal dari bahasa Portugis yang berarti "bunga". Pulau
Flores berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia dan termasuk dalam
gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas wilayah sekitar
14.300 km².
Suku yang berada di kepulauan Flores merupakan percampuran antara etnis
melayu, Melanesia, dan portugis. Flores identik dengan kebudayaan Portugis
karena pernah menjadi koloni portugis. Hal ini membuat kebudayaan portugis
sangat terasa dalam kebudayaan flores baik melalui Genetik, Agama, dan Budaya.
Nama flores itu sendiri berasal dari bahasa portugis yaitu “cabo de flores
“ yang berarti “tanjung bunga”. Nama itu semula di berikan oleh S.M. Cabot
untuk menyambut wilayah timur dari pulau flores. Namun pada akhirnya di pakai
secara resmi sejak tahun 1636 oleh gubernur jenderal hindia belanda Hendrik
Brouwer. Sebuah studi yang cukup mendalam oleh Orinbao (1969) mengungkapkan
bahwa nama asli sebenarnya pulau flores adalah nusa nipa (pulau ular) yang dari
sudut antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai
makna filosofis, cultural, dan ritual masyarakat flores.
Penelitian mengungkapkan bahwa, ada sedikitnya delapan sub-suku-bangsa yang
memiliki logat-logat dan bahasa yang berbeda-beda. Delapan suku yang terdapat
di Pulau Flores antara lain :
1. Orang Manggarai
2. Orang Riung
3. Orang Ngada
4. Orang Nage-Keo
5. Orang Ende
6. Orang Lio
7. Orang Sikka
8. Orang Larantuka
Perbedaan kebudayaan antara sub-suku-bangsa Riung, Ngada, Nage-Keo, Ende,
Lio dan Sikka tidaklah amat besar. Tetapi, Perbedaan antara kelompok
sub-suku-bangsa tersebut dengan orang Manggarai termasuk besar. Seperti halnya
dari segi bentuk fisik, ada satu perbedaan yang mencolok. Penduduk Flores mulai
dari orang-orang Riung makin ke Timur menunjukkan lebih banyak cirri-ciri
Melanesia, seperti penduduk Papua, sedangkan orang Manggarai lebih banyak
menunjukkan ciri-ciri Mongoloid-Melayu. Adapun sub-suku-bangsa Larantuka
berbeda dari yang lain. Hal ini dikarenakan mereka lebih tercampur dengan
mendapat pengaruh unsur-unsur kebudayaan dari lain-lain suku-bangsa Indonesia
yang dating dan bercampur di kota Larantuka.
Sistem Kepercayaan
Masyrakat Flores sudah menganut beberapa ajaran agama modern, seperti
Islam, Kristen dan lain sebagainya. Namun masih terdapat tradisi unsur pemujaan
terhadap leluhur. Salah satunya adalah tradisi megalitik di beberapa sub etnis
Flores. Misalnya, tradisi mendirikan dan memelihara bangunan-bangunan pemujaan
bagi arwah leluhur sebagai wujud penghormatan (kultus) terhadap para leluhur
dan arwahnya berawal sejak sekitar 2500 - 3000 tahun lalu dan sebagian
diantaranya masih berlangsung sampai sekarang.
Dampak pendirian monumen-monumen tradisi megalitik itu begitu luas mencakup
aspek simbolisme, pandangan terhadap kosmos (jagat raya), asal mula kejadian
manusia, binatang dan sebagainya. Upacara doa dan mantra, serta berbagai media
untuk mengekspresikan simbol-simbol secara fisik dalam kebersamaan. Tradisi
megalitik yang berkembang di Pulau Flores awal pemunculannya, tampak pada
sisa-sisa peninggalan seperti rancang rumah adat dan monumen-monumen pemujaan
terhadap arwah leluhur, termasuk seni ragam hiasnya.
Selain itu, tampak juga pada upacara pemujaan termasuk prosesi doa mantra,
pakaian, pelaku seni, seni suara dan tari serta perlengkapan-perlengkapan
upacara (ubarampe) dan sebagainya.Tradisi megalitik pun tampak pada tata ruang,
fungsi, konstruksi sertastruktur bangunan. Tak ketinggalan pada upacara siklus
hidup mulai dari lahir, inisiasi, perkawinan dan pola menetap setelah
perkawinan dan kematian, penguburan serta perkabungan. Sudah tentu juga
berkaitan dengan upacara untuk mencari mata pencarian, seperti pembukaan lahan,
penebaran benih, panen, berburuan, pengolahanlogam dan sebagainya, serta
pembuatan benda-bendagerabah, tenun dan senjata.
Kesenian
Tari yang berasal dari Flores salah satunya adalah tari Caci adalah tari
perang sekaligus permainan rakyat antara sepasang penari laki-laki yang
bertarung dengan cambuk dan perisai di Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia.
Caci merupakan tarian atraksi dari bumi Congkasae Manggarai. Hampir semua
daerah di wilayah ini mengenal tarian ini. Kebanggaan masyarakat Manggarai ini sering
dibawakan pada acara-acara khusus. Tarian Caci Caci berasal dari kata ca dan
ci. Ca berarti satu dan ci berarti uji. Jadi, caci bermakna ujian satu lawan
satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah dan merupakan ritual Penti
Manggarai.
Mata Pencaharian
Salah satu mata pencaharian suku Flores adalah berladang. Mereka
menggunakan sistem gotong royong dalam hal membuka ladang di dalam hutan.
Aktivitas itu sendiri dari memotong dan membersihkan belukar bawah, menebang
pohon-pohon dan membakar daun-daunan, batang-batang dan cabang-cabang yang
telah di potong dan di tebang. Kemudian bagian hutan yang di buka dengan cara
tersebut dibagi antara berbagai keluarga luas, yang telah bersama-sama membuka
hutan tadi. Dari atas sekelompok ladang-ladang serupa itu akan tampak seperti
suatu jaringan sarang laba-laba. Tanaman pokok yang di tanam di ladang-ladang
adalah jagung dan padi.
Beternak juga merupakan salah satu mata pencaharian suku Flores. Hewan
piaraan yang terpenting adalah kerbau. Binatang ini tidak dipiara untuk
tujuan-tujuan ekonomis tetapi untuk membayar mas kawin, untuk upacara-upacara
adat, dan untuk menjadi lambang kekayaan serta gengsi. Selain itu kuda juga
merupakan hewan piaraan yang penting, yang dipakai sebagai binatang tenaga
memuat barang atau menghela. Di samping itu kuda juga sering dipakai sebagai
harta mas kawin. Kerbau dan juga sapi dimasukkan ke dalam kandang umum dari
desa dan digembala di padang-padang rumput yang juga merupakan milik umum dari
desa. Pemeliharaan babi, kambing, domba atau ayam dilakukan di pekarangan rumah
atau dikolong rumah seperti halnya di daerah Manggarai.
Sistem Masyrakat
Di dalam masyarakat flores kuno ada suatu sistem statifikasi, yang terdiri
dari tiga lapisan. Dasar pelapisan itu adalah klan-klan yang dianggap mempunyai
sifat keaslian satau bersifat senioritet. Yaitu diantaranya :
- Lapisan orang kraeng
- Lapisan orang ata lehe
- Lapisan orang budak
Pada orang Ngada misalnya terdapat tiga lapisan juga seperti :
- Lapisan orang gae meze
- Lapisan orang gae kiss
- Lapisan orang azi ana
Bahasa
Diperkirakan terdapat tujuh kelompok bahasa, yaitu kelompok bahasa-bahasa
Flores Barat, Flores Timur, Sumba, Timor Barat, Timor Timur, Pantara, dan Alor.
Dalam pada itu, berdasarkan hasil penghimpunan berkas isoglos dan perhitungan
dialektometri di NTT, diperkirakan terdapat lima kelompok bahasa, yaitu
kelompok bahasa-bahasa Flores-Sumba, Timor Barat, Timor timur, Pantar, dan
Alor. Interpretasi yang dapat ditarik dari perbedaan hasil pengelompokan bahasa
antara historis komparatif dan dialektologi kemungkinan besar karena sifat
dasar dari pendekatannya. Linguistik historis komparatif cenderung mengarah
pada diakronis, sedangkan dialektologi cenderung mengarah pada kondisi bahasa
secara sinkronis.
Berdasarkan hasil perhitungan leksikostatistik juga kita dapat membagi
beberapa unsur bahasa daerah di Flores yang didasarkan pada perbedaan tiap-tiap
suku. Masing-masing suku ini memiliki berbagai macam bahasa dan cara-cara
pelafalannya. Secara umum bahasa tersebut berasal dari bahasa Melayu yang turut
berkembang menyesuaikan daerah-daerah yang dihuni oleh suku-suku tersebut.
Sumber referensi:
http://rifkiandriantono.blogspot.co.id/2015/08/makalah-tentang-7-unsur-kebudayaan-suku.html
diakses tanggal 24 januari 2016
https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Flores diakses
tanggal 24 januari 2016
http://florestrawang-letare.blogspot.co.id/ diakses
tanggal 24 januari 2016
Suku
Manggarai adalah sebuah suku bangsa yang mendiami
bagian barat pulau
Flores di provinsi Nusa
Tenggara Timur, Indonesia. Suku Manggarai tersebar di tiga kabupaten di provinsi tersebut, yaitu
Kabupaten
Manggarai Barat, Kabupaten
Manggarai dan Kabupaten
Manggarai Timur.
Sejarah
Menurut
catatan sejarah, mereka secara historis dikuasai secara bergantian oleh suku
Bima dari pulau
Sumbawa dan suku
Makassar dari pulau
Sulawesi. Terdapat sekitar 500.000 orang Manggarai pada akhir abad ke-20.
Politik
Sistem
politik mereka berdasarkan pada klan, dipimpin oleh seorang kepala klan yang
dipanggil Todo. Suku ini menerapkan sistem keturunan patrilineal, dan secara historis mereka bermukim di desa-desa, yang terdiri dari
setidaknya dua klan.
Ritual
Suku
Manggarai terkenal memiliki sederet upacara ritual sebagai ucapan syukur atas
kehidupan yang sudah dijalani dalam periode waktu tertentu, antara lain :
·
Penti Manggarai, upacara adat merayakan syukuran atas hasil panen,
·
Barong Lodok, ritual mengundang roh penjaga kebun di pusat lingko (bagian
tengah kebun),
·
Barong Wae, ritual mengundang roh leluhur penunggu sumber mata air,
·
Barong Compang, upacara pemanggilan roh penjaga kampung pada malam hari,
·
Wisi Loce, upacara yang dilakukan agar semua roh yang diundang dapat menunggu
sejenak sebelum puncak acara Penti, dan
·
Libur Kilo, upacara mensyukuri kesejahteraan keluarga dari masing-masing rumah
adat.
Suku
Manggarai juga mempunyai olahraga tradisional yang disebut caci,
pertarungan saling pukul dan tangkis dengan menggunakan pecut dan tameng yang
dimainkan oleh dua orang pemuda di sebuah lapangan luas. Pertunjukan caci
diawali dengan pentas tarian
Danding, sebelum para jago cacicc beradu kebolehan memukul dan menangkis.
Tarian itu biasanya disebut juga sebagai Tandak Manggarai, yang
dipentaskan khusus hanya untuk meramaikan pertarungan caci.
Bahasa
Suku ini
menuturkan bahasa
Manggarai, sebuah bahasa yang disebut sebagai tombo Manggarai oleh para
penutur aslinya. Bahasa ini mempunyai sekitar 43 subdialek.
Referensi
1.
Suku Manggarai di britannica.com, Encyclopædia Britannica versi daring. Diakses 30 Juli 2013.
2.
"Etnis
Manggarai, dari Ritual ke Ritual". Liputan6.com, 19 Agustus 2001. Diakses 30 Juli 2013.
3.
"Manggarai" di Ethnologue. Diakses 30 Juli 2013.
ORANG MANGGARAI: ASAL-USULNYA - bagian pertama
Pendahuluan
Orang-orang Flores
bukan merupakan satu suku dengan latar belakang yang sama. Demi mudahnya,
ketika merantau mereka memperkenalkan diri sebagai orang Flores karena memang
mereka berasal dari Flores.
Sebetulnya pulau
Flores didiami oleh beberapa suku, di antaranya Manggarai, Ngadha, Nage Keo,
Ende-Lio, Sika, Larantuka dan Lamaholot. Bila ditinjau dari sudut bahasa dan
budaya, orang Flores terdiri dari beberapa etnis, yaitu: etnis Manggarai -
Riung (yang meliputi kelompok bahasa Manggarai,
Wanita
Lamaholot dan Manggarai, dua etnis di Flores
|
Pae, Mbai, Rajong,
dan Mbaen), etnis Ngadha-Lio (terdiri dari kelompok bahasa-bahasa Rangga,
Maung, Ngadha, Nage, Keo, Palue, Ende dan Lio), etnis Mukang (meliputi bahasa
Sikka, Krowe, Mukang dan Muhang), etnis Lamaholot (meliputi kelompok bahasa
Lamaholot Barat, Lamaholot Timur, dan Lamaholot Tengah) dan etnis Kedang (yang
digunakan di wilayah Pulau Lembata bagian selatan).
Kami akan
mendeskripsikan suku-suku “asli” yang mendiami Flores itu satu-satu persatu.
Mudah-mudahan dapat membantu pembaca yang terhormat untuk memahami budaya
Flores secara lebih mendalam. Kami akan memulai dari Flores bagian barat.
MANGGARAI – SUKU
TERBESAR FLORES
Asal-usul
Manggarai
Flores barat
didiami oleh orang Manggarai. Paling tidak ada dua versi tentang penamaan
Manggarai. Versi pertama mengatakan bahwa Manggarai merupakan gabungan
dua kata dalam bahasa Gowa- Sulawesi Selatan, yaitu manggar, artinya
sauh atau jangkar dan rai, artinya putus.
Jadi Manggarai artinya sauh atau jangkar putus.
Kisahnya demikian; menurut ceritera rakyat setempat, orang-orang Gowa
berlayar ke arah selatan dan menemukan sebuah daerah yang berhutan lebat dan
sangat subur. Mereka berencana mendarati daerah itu. Namun karena hujan badai
yang besar, jangkar perahu
mereka putus
sehingga dengan segenap kekuatan, mereka berusaha menyelamatkan diri
kembali ke laut lepas dan kembali ke
Gowa. Kedatangan kembali mereka disambut dengan sukacita oleh sanak keluarga.
Mereka mengatakan bahwa telah menemukan sebuah daerah yang subur dan berhutan
lebat di selatan tetapi tidak bisa mendarat karena hujan badai yang besar yang
membuat sauh mereka putus. Demi mudahnya, daerah di mana sauh mereka putus itu
selanjutnya dinamakan Manggar-Rai.
Kelak daerah yang
subur itu didatangi kembali dan nama itu pulalah yang kemudian dipakai untuk
menunjuk daerah yang subur dan berhutan lebat itu. Selanjutnya, nama itu
dipakai seterusnya dan menyebar ke
mana-mana, baik ke Bima di Sumbawa, ke Solor di Flores Timur dan kemana-mana
saja sepanjang pantai Flores. Lalu nama Manggar-rai itu kemudian diucapkan
menjadi satu kata saja yaitu Manggarai seperti yang dikenal dewasa ini.
Orang
Todo, pakaian adatnya berbeda dengan Manggarai lainnya
|
Versi kedua mengatakan bahwa Manggarai
merupakan gabungan kata Manggar dan Rai. Versi
ini mengatakan bahwa kata manggar diambil dari nama batu
yang dibawa oleh Empo Masur seorang keturunan raja ( Raja Luwu ) dan merupakan
cikal bakal orang Todo-Pongkor dari Sumatera Barat yang artinya watu jangkar yang biasanya digunakan
untuk menahan Wangka (Perahu) ketika berlabuh. Sedangkan kata watu rai
berarti batu asah yang
digunakan untuk mengasah parang, tombak dan benda-benda tajam lainnya. Kedua
batu ini merupakan dasar pemberian nama Manggarai.
Ada banyak versi yang berkembang di Manggarai tentang
asal-usul mereka. Ada yang
mengatakan bahwa mereka adalah keturunan Sumba, Bima, Bugis Luwu, Melayu
Malaka atau Minangkabau.
Orang
Cibal - lihat songketnya berbeda dengan Orang Todo
|
Versi yang
mengatakan orang Manggarai berasal
Minangkabau berkembang di wilayah Todo-Pongkor. Para tetua Todo-Pongkor mengatakan
bahwa leluhur mereka bernama Masur, salah seorang keturunan Raja Luwu.
Kemungkinan Masur adalah seseorang yang diberi kepercayaan untuk memimpin
pasukan kesultanan Goa memasuki daerah Flores barat tahun 1666. Pasukan Goa ini
memasuki wilayah barat Flores dari Warloka di Pulau Komodo lalu memasuki
pantai selatan Flores, tepatnya dari daerah Iteng – Satarmese sekarang. Dari
situ mereka bergerak ke arah pedalaman dan sampai ke daerah Todo-Pongkor.
Todo-Pongkor lantas dijadikan pusat kekuasaan baru. Pada mulanya kesultanan Goa
itu ( di bawah perwakilan Masur ) hanya menguasai Flores Barat bagian selatan
tetapi tidak lama berselang mereka menguasai hampir seluruh daerah yang saat
ini disebut Manggarai Raya itu.
Topi
Manggarai - mirip kopiah: salah satu pengaruh Goa - Makasar
|
Pengaruh kesultanan
Goa atas wilayah ini sangat besar. Selain harus menyetorkan upeti atau pajak ke
kesultanan Goa yang diambil dari penduduk asli, Masur juga menikahi
perempuan penduduk asli. Itulah
mengapa orang Todo-Pongkor saat ini mengatakan bahwa mereka berasal dari
Minangkabau.
Bila dilihat dari sisi historis, pengakuan itu tidak seluruhya benar
dan juga tidak seluruhnya salah. Paling tidak ada dua alasan.
Pertama, ada perbedaan sistem kekerabatan antara suku Manggarai dengan suku Minang. Orang Manggarai menganut sistem kekerabatan patrilineal semantara orang Minang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Bagaimana mungkin orang Minang membalikkan sistem kekerabatan ini secara radikal? Kedua, adalah apa yang dikatakan antropolog Maribert Erb. Ia mengatakan asal-usul orang Manggarai bukan dari Minangkabau. Karena belum ada bukti sejarah bisa memastikan bahwa orang Minangkabau pernah datang dan menetap di daerah Flores barat tersebut. Berdasarkan penelusurannya, orang Minangkabau biasanya mendatangi suatu daerah dan menetap daerah itu karena mendapatkan keuntungan ekonomis. Pertanyaannya, untuk apa mereka datang ke Manggarai yang saat itu belum menunjukan keuntungan ekonomis bagi mereka?
Pertama, ada perbedaan sistem kekerabatan antara suku Manggarai dengan suku Minang. Orang Manggarai menganut sistem kekerabatan patrilineal semantara orang Minang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Bagaimana mungkin orang Minang membalikkan sistem kekerabatan ini secara radikal? Kedua, adalah apa yang dikatakan antropolog Maribert Erb. Ia mengatakan asal-usul orang Manggarai bukan dari Minangkabau. Karena belum ada bukti sejarah bisa memastikan bahwa orang Minangkabau pernah datang dan menetap di daerah Flores barat tersebut. Berdasarkan penelusurannya, orang Minangkabau biasanya mendatangi suatu daerah dan menetap daerah itu karena mendapatkan keuntungan ekonomis. Pertanyaannya, untuk apa mereka datang ke Manggarai yang saat itu belum menunjukan keuntungan ekonomis bagi mereka?
Karena kedua alasan itu, mungkin lebih tepat dikatakan
bahwa orang Manggarai, terutama Todo-Pongkor, merupakan hasil perkawinan antara
penduduk asli dengan pendatang dari Minangkabau yang memasuki Flores Barat
lewat penetrasi kekuasaan kesultanan Goa dari Sulawesi Selatan.
Secara
geografis, Flores Barat ( Manggarai ) sangat dekat dengan P. Sumba
|
Hipotesa ini membawa kita pada versi yang lain. Versi ini mengatakan
bahwa orang Manggarai berasal dari Sumba. Nenek moyang orang Manggarai
meninggalkan Sumba dengan perahu dan berlayar ke arah utara dan menemukan
sebuah daratan yang berhutan lebat dan subur. Mereka mendarat di dataran rendah
yang luas dan subur. Mereka tinggal di daerah itu, lalu sebagian dari
antara mereka berpindah secara nomaden memasuki pedalaman, menuju ke arah timur
laut. Pada suatu mereka tiba di daerah yang saat ini bernama Mano. Dari itu
sebagian lagi bergerak ke arah barat dan akhirnya tiba di daerah yang sekarang
bernama Ruteng.
Pinisi,
kapal orang Goa mengarungi lautan hingga ke mana saja
|
Versi lain lagi mengatakan bahwa
nenek moyang orang Manggarai, terutama orang Cibal berasal dari Makasar. Versi
ini mengatakan bahwa orang-orang Makasar di utara Floress Barat dan bergerak
menuju pedalaman dan tiba di daerah Cibal lalu mendirikan kerajaan di daerah
itu. Mereka inilah yang merupakan nenek moyang orang Cibal. Pendukung versi ini
melihat kesamaan kata-kata bahasa Manggarai dengan bahasa Makasar serta bentuk
rumah panggung ( mbaru ngaung ) selain kain sarung berupa songke (lipa songke,
towe songke) sebagai alasan.
Namun ada catatan yang harus
dikemamukakan di sini. Adanya kesamaan kata-kata itu tidak berkorelasi langsung
dengan kesamaan suku. Karena ada juga kata-kata yang sama yang ditemukan di
suku lain, misalnya suku Ngada di sebelah timur Manggarai.
Bugis
|
Goa/Makasar
|
Manggarai
|
Ngada
|
Indonesia
|
manuk
|
-
|
manuk
|
manu
|
ayam
|
lipa
|
Lipa
|
lipa/towe
|
lipa
|
kain sarung
|
-
|
Nyarang
|
Jarang
|
jara
|
kuda
|
Jadi, pendukung versi manapun belum
bisa mengungkapkan fakta-fakta yang meyakinkan terkait asal-usul nenek moyang
orang Manggarai.
Ada juga versi yang mengatakan bahwa nenek moyang orang Manggarai berasal dari Melayu-Malaka. Hingga kini belum ada fakta yang mendukung pandangan ini. Bagi saya, mungkin versi inilah yang paling mendekati kebenaran. Saya mengatakan hal ini berdasarkan Teori Penyebaran Manusia Modern seperti yang bisa pembaca lihat dalam Teori Out of Afirica dalam tulisan ini.
Katakanlah kalau semua versi yang beredar itu memang benar, itu semakin menunjukkan bahwa
sebetulnya tidak ada satu suku Manggarai yang murni. Yang ada adalah
kelompok-kelompok pendatang yang menempati wilayah tertentu yang dalam waktu
relatif panjang mengembangkan adat-istiadat dan pusat kekuasaan sendiri-sendiri
serta saling berinteraksi dalam waktu
yang relatif lama sehingga menghasilkan realitas orang-orang Manggarai seperti
yang dikenal dewasa ini.
Dalam beberapa wawacara yang dilakukan antropolog Maribert Erb dengan beberapa tetua Manggarai tentang asal-usul mereka sering didapati jawaban berupa dongeng atau bahasa kiasan. Satu diantaranya adalah cerita bahwa orang Manggarai berasal dari bambu. Menurut
Maribert Erb, jawaban ini hanya mengungkapkan bahwa mereka sudah lama menetap di daerah tersebut sehingga mereka pun
tidak tahu dari mana mereka berasal. Selanjutnya ia mengatakan bahwa keaslian orang Manggarai adalah suatu mitos.
Semakin kita bertanya tentang keaslian maka kita tidak akan pernah menenukan
jawabannya. Suatu keaslian selalu disertakan
dengan pertanyaan tentang keasilannya.
Peta
migrasi manusia modern menurut teori Out of Africa
|
Asal-usul orang Manggarai mungkin akan lebih jelas bila kita
menggunakan parameter Teori Out of Africa. Teori Out of Africa ini mengatakan bahwa seluruh ras manusia
modern berasal dari Africa.
Dalam
dunia akademis, teori ini lebih diterima dari pada Teori Multiregional (Kontinuitas Regional). Sebuah teori lain yang mengatakan bahwa ras-ras manusia modern
dewasa ini merupakan hasil evolusi manusia purba yang terjadi secara independen atau sendiri-sendiri di banyak
wilayah di bumi ini. Teori ini tidak tahan uji karena tidak mampu menjawab
masalah adanya missinglink antara manusia purba dengan manusia modern.
Teori Out of Africa mendasarkan diri atas penelusuran genetik populasi manusia dengan
menggunakan biologi molekuler. Dipastikan
bahwa seluruh ras manusia merupakan hasil evolusi manusia modern benua
Afrika (Homo sapiens) dan tidak mendapatkan turunan genetic dari hominid-hominid pendahulunya seperti
hominid Eropa (Neanderthal) maupun hominid Asia baik yang fosilnya ditemukan di
Peking maupun di Jawa.
Dr.
Alice Robert - salah satu pendukung Teori Out of Africa
|
Dalam bukunya, The Incredible Human Journey, Dr.
Alice Roberts menelusuri sejarah migrasi manusia berdasarkan
penemuan-penemuan tulang belulang homo sapiens dan merangkainya dalam teori
perjalanan manusia yang dimulai dari Afrika pada 150.000 tahun yang lalu. Dari
penemuan-penemuan itu, Roberts dan para ahli lainnya membangun teori bahwa
seluruh manusia apapun rasnya berasal dari Afrika dan menyebar keseluruh
penjuru dunia. Teori itu dibangun lewat jejak DNA dari berbagai ras manusia di
dunia dan metode menghubungkan iklim dunia pada saat itu dengan proses migrasi manusia.
Dr Roberts
memperkirakan bahwa ini terjadi pada 70.000 tahun yang lalu, ketika iklim bumi
berubah, dan gurun Sahara menghijau hanya beberapa ratus tahun lamanya.
Kesempatan ini memungkinkan sekelompok manusia melintasi Afrika dan menyeberang
ke jazirah Arab sebelah selatan.Dari sana kelompok itu memecahkan diri. Ada
yang menuju ke timur dan ada yang menuju ke barat.
Kelompok yang
menuju ke timur, mencapai Anak Benua India melalui Timur Tengah dan mencapai
Oseania melalui Indonesia . Diperkirakan 50 sampai 60 ribu tahun lalu mereka
telah sampai di Australia lebih dahulu sebelum menyebar di wilayah Asia
lainnya.
Paparan
Sunda dan Sahul yang memungkinkan migrasi fauna & manusia
|
Pada Jaman Es,
ketika permukaan air laut lebih rendah, Indocina , Indonesia bagian barat dan
sebagian kecil Filipina menyatu membentuk Paparan Sunda yang dianggap sebagai
cikal bakal negara-negara Asia saat ini. Australia dan Pulau Papua ( New Guinea
) juga bergabung membentuk Paparan Sahul yang dipisahkan dari Paparan Sunda
oleh Selat Sahul. Namun demikian beberapa kelompok manusia berhasil
menyeberanginya dan mencapai pulau-pulau di Oseania.
Sementara itu
beberapa kelompok manusia juga meninggalkan Afrika menuju Eropa melalui bagian
utara Laut Merah, Asia Tengah dan Timur Jauh, tapi lebih banyak yang menuju
timur ke arah Paparan Sunda karena tertarik dengan iklim yang lebih bersahabat
dan alam yang subur.
Teori Out of Africa
bisa membantu kita membangun sebuah hipotesa baru bahwa asal-usul Orang
Manggarai
Garis
Wallace & Weber, pemisah sebaran fauna Indonesia
|
tidak bisa
dipisahkan dari suku-suku lain di Flores. Mereka merupakan bagian dari manusia
modern yang melakukan migrasi ke Oceania hingga Autralia seperti yang dikatakan
Dr. Alice Robert di atas.
Hipotesa ini
diperkuat oleh beberapa kemiripan fisik dan bahasa antar suku-suku di Flores
seperti telah dikemukakan di atas, terkait adanya kesamaan suku kata antara
Goa-Bugis, Manggarai dan Ngada.
Selanjutnya
berbedaan-perbedaan lainnya muncul karena kenyataan historis lainnya. Tidak ada
suku lain di Flores yang telah membangun interaksi yang intensif dengan
orang-orang luar seperti orang Manggarai. Interaksi yang intensif antar
orang-orang yang mendiami wilayah Manggarai dengan suku-suku yang datang
kemudian yang akhirnya melahirkan versi-versi keaslian orang Manggarai seperti
sudah diungkapkan sebelumnya.
Dalam konteks ini,
Manggarai adalah suku yang paling unik di seluruh Indonesia. Bisa jadi
Manggarai adalah semacam "garis Wallace" dan "garis weber"
dalam konteks penyebaran ras dan suku manusia di Indonesia.
Asal Mula Suku Suka di Manggarai
Diposting oleh Om Ben • Di: Sejarah
May152012
Konon, di puncak Mandosawu hiduplah sepasang
suami isteri yg bernama Jun dan Jendu. Mereka mempunyai lima orang anak
laki-laki. Selain itu, mereka juga memiliki anak- anak yg lain berupa poti
koing (makhluk gaib), darat (dedemit), nepa' (ular sanca), ka' (burung gagak),
dan beberapa jenis binatang lainnya.
Karena begitu banyaknya anak mereka dengan berbagai karakter
yang berbeda, keseharian keluarga ini selalu diwarnai percecokan dan
perselisihan. Oleh karena itu, sang ayah memutuskan untuk memisahkan
anak-anaknya dengan menempatkan kelima anak laki-lakinya di berbagai wilayah di
Manggarai untuk bisa hidup mandiri. Pada akhirnya kelima anak laki-laki ini
menurunkan beberapa suku penting di Manggarai. Anak sulung menghasilkan
keturunan Todo, anak kedua menghasilkan keturunan Pongkor, anak ke tiga
menghasilkan keturunan Ruteng Pu'u, anak ke empat menurunkan suku Congkar dan
anak bungsu merupakan nenek moyangnya suku Suka.Ketika kelima anak ini keluar dari Mandosawu, usia si bungsu yg diberi nama Ndolu masih sangat muda. Oleh sebab itu, dalam perjalanannya ke arah timur ia ditemani dan dipandu oleh beberapa saudaranya berupa nepa', ka', dan poti koing.
Setelah menempuh perjalanan jauh yang cukup lama dan melelahkan, maka tibalah mereka di tempat tujuan yaitu di Pong Suka dalam kawasan pegunungan Poco Mbengan yg kini terletak di Desa Ranakolong Kecamatan Kota Komba.
Selama berada di Pong Suka kedua saudaranya mengajari dan membimbing si bungsu untuk bisa membangun pondok, mencari makanan dan berkebun. Setelah si bungsu dirasa sudah bisa mengurusi dirinya sendiri ketiga saudaranya pun pulang ke Mandosawu dan meninggalkan si bungsu sendirian.
Diceritakan, bahwa dalam kesendiriannya si bungsu yang kala itu mulai beranjak dewasa merasa sangat kesepian. Ia pun merindukan kedua orang tuanya serta saudara- saudaranya di Mandosawu sampai suatu ketika di Pong Suka terjadilah hujan lebat tanpa henti selama tujuh hari tujuh malam. Ketika hujan mulai reda pada hari ketujuh, terjadilah suatu keajaiban. Tiba-tiba, muncullah seorang gadis cantik di hadapan si bungsu. Gadis inilah yang menemani dan mengisi hari-hari si bungsu. Dengan hadirnya gadis cantik tersebut maka kesepian, kerinduan dan kegamangan si bungsu pun berbubah menjadi kegembiraan, suka cita dan harapan. Akhirnya, mereka hidup bahagia sebagai suami isteri dan memiliki keturunan. Di kemudian hari, anak-anak dari pasangan inilah yang menjadi cikal bakal keturunan suku Suka di Manggarai Timur yang sekarang ini tersebar dan mendiami wilayah Ronggakoe dan sekitarnya.
Dalam sejarah perkembangannya, dengan alasan yang tidak disebutkan salah satu dari keturunan suku Suka di Manggarai Timur bermigrasi ke arah barat. Keturunan Suka pun menyebar ke daerah Kolang di Kuwus, Manggarai Barat. Sampai sekarang, baik suku Suka di Ronggakoe maupun di Kolang tidak memungkiri bahwa mereka merupakan saudara yang berasal dari nenek moyang yg sama di Pong Suka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar